
Pringsewu, JURNALLAMPUNG.COM – Tiga ekor sapi milik Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Pekon Podo Moro, Kecamatan Pringsewu, Lampung, yang dibeli dari dana desa tahun 2022, kini tidak diketahui keberadaannya. Aset ternak tersebut semestinya menjadi bagian dari usaha desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun justru menghilang tanpa kejelasan.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, pada tahun 2022, BUMDes Pekon Podo Moro menerima anggaran yang cukup besar. Dana sebesar Rp 380 juta digelontorkan untuk pengembangan jaringan internet PMP Net, sementara Rp 80 juta digunakan untuk pengadaan tabung gas dan pembelian tiga ekor sapi. Sayangnya, hingga April 2025, sapi-sapi tersebut tidak lagi berada di BUMDes, dan penggunaannya pun belum jelas.
Kepala Pekon Podo Moro, Supriyo, saat ditemui media ini pada Rabu (23/4/2025), mengaku tidak mengetahui secara pasti bagaimana pengelolaan aset BUMDes tersebut. “Saya hanya mentransfer uang ke rekening BUMDes, soal pengelolaan saya tidak tahu. Tapi yang jelas, uang hasil penjualan sapi sampai saat ini masih ada,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua BUMDes, Ridho, ketika dikonfirmasi melalui WhatsApp pada Senin (21/4/2025), membenarkan bahwa ketiga ekor sapi sudah dijual. “Dua ekor dijual tahun 2023, total sekitar Rp 46 juta. Satu ekor lagi dijual tahun 2024 dengan harga sekitar Rp 23 juta. Uangnya masih ada, tapi belum diputuskan akan digunakan untuk apa,” katanya.
Namun, keterangan berbeda datang dari seorang narasumber berinisial M. Ia menduga penjualan sapi dilakukan langsung oleh kepala pekon. “Saya dengar sendiri, yang menjual sapi itu lurahnya. Harganya sekitar Rp 25 juta per ekor, total sekitar Rp 75 juta,” ungkapnya.
Adanya dugaan keterlibatan langsung kepala pekon dalam pengelolaan dan penjualan aset desa menimbulkan tanda tanya besar soal transparansi dan akuntabilitas dana desa. Masyarakat pun berharap agar Dinas Inspektorat, aparat penegak hukum (APH), dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Pringsewu segera turun tangan mengusut persoalan ini secara tuntas.
Tak hanya itu, kinerja Badan Himpunan Pekon (BHP) sebagai pengawas juga dipertanyakan. Bagaimana mungkin aset desa bisa hilang tanpa pengawasan yang ketat?
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pengelolaan dana desa yang transparan dan bertanggung jawab agar program-program yang dibiayai benar-benar berdampak bagi masyarakat, bukan menjadi celah kepentingan pribadi.
(RED / Tim Jurnallampung.com)